
Yang pertama, saya ingin menyampaikan kesedihan saya karena komunitas blogger 1m1c (1 minggu 1 cerita) berhenti beroperasi. Padahal saya termotivasi menulis salah satunya karena itu. Rutin menulis dan membaca tulisan orang lain setiap minggu membuat saya merasa tidak sendirian. Sekarang, saya merasa kehilangan sedikit arah.
Yang selanjutnya, saya ingin mengungkapkan kebingungan saya tentang tarik ulur takdir. Saya berencana menyekolahkan bocah di Maba. Kelebihannya, saya bisa mengajari dia banyak hal karena saya punya waktu luang yang cukup banyak. Kekurangannya, sekolah di sana memiliki keterbatasan dibandingkan dengan di kota. Setelah pergolakan mental yang besar, saya akhirnya memutuskan untuk membawa bocah ke Maba.
Pergolakan mental itu terjadi bukan tanpa sebab. Pertama, firasat. Saya punya firasat yang mengatakan jangan bawa bocah ke Maba. Mungkin firasat itu muncul karena pengaruh teman-teman saya yang menganggap pola pikir saya konyol dan tidak logis.
Kedua, usia dan kemampuan. Saya sebagai bapaknya bocah tahu kalau sebenarnya anak ini bisa punya kemampuan lebih saat ini. Hanya saja, kemampuan itu tidak diasah, tidak distimulasi. Hasilnya, performa dan kemampuannya saat ini ya sesuai atau bahkan kurang dari yang seharusnya.
Ketiga, mamaknya. Istri saya, mamaknya si bocah, orangnya plin-plan dan suka mengubah rencana seenaknya. Menghadapi perempuan seperti itu agak rumit karena keputusannya sering didasarkan pada emosi, bahkan untuk keputusan jangka panjang. Bulan kemarin dia setuju dengan ide saya. Hari ini dia tidak setuju karena rindu. Labil? Ya begitulah.
Keempat, situasi. Situasi ini sepertinya sangat dipengaruhi oleh doa-doa orang sekitar. Orangtua saya mendorong supaya bocah disekolahkan SD. Tapi rekomendasi dari TK justru mengatakan anak ini belum siap dari segi usia maupun mental. Saat saya paksakan waktu keberangkatan agar ngepas dengan waktu akhir pendaftaran, tiba-tiba bocah kena cacar sehingga harus isolasi. Seolah-olah takdir berkata, "jangan ke Maba." Tidak cukup sampai di situ, SD yang akan saya daftar juga tiba-tiba menutup pendaftaran lebih awal. Lagi-lagi seperti takdir bilang, "jangan dipaksakan."
Dan tidak berhenti di situ juga. Teman saya di Ternate tiba-tiba menawari saya kerja sambilan di RS swasta di sana. Seolah-olah takdir berkata, "gak usah bawa bocah, kamu bakal banyak kerja." Tapi, mamaknya si bocah sekarang malah mencak-mencak gak mau ditinggal sama bocah. Gak mikir kalau dua bulan lagi dia akan tugas luar daerah dan si bocah gak punya teman kalau tetap di Makassar. Ironi, ya?
Sebagai orang yang menyusun rencana dari awal, saya tetap membuat tindakan. Saya menjelaskan semuanya ke kepala sekolah tempat bocah rencana akan sekolah. Saya berharap beliau menolak alasan saya. Tapi ternyata... dia menerima. Saya jadi bingung. Kalau memang ini skenario takdir, kenapa tidak konsisten sekalian?
Lalu, itu teman saya yang nawarin kerja sambilan—udah dua hari ini gak ada kabar. Saya tambah bingung.
Sampai hari ini, saya masih bingung. Karena bingung, saya prolong masa libur saya sampai hampir sebulan. Risikonya? Gaji saya mungkin tidak akan dibayar. Memang sih, ini awal bulan, dan gaji bulan lalu saja belum dibayar.
Posting Komentar