
Tidak menganggap serius segala sesuatu yang sebenarnya serius—itulah kebiasaan buruk saya. Dan dari kebiasaan itu, saya memperoleh semacam ganjaran. Ganjarannya bukan berupa keberhasilan, bukan juga berupa hikmah instan, tapi satu hal: keberanian untuk berlaku bodoh. Keberanian untuk gagal dalam hal-hal yang sebenarnya penting.
Perjalanan hidup saya kebanyakan begitu. Persimpangan hidup saya dipilih dengan alasan yang, kalau dipikir sekarang, terlalu enteng untuk hal sebesar itu. Kenapa saya daftar di SMA itu? Karena disuruh. Kenapa saya kuliah di situ? Karena katanya bagus. Kenapa pilih universitas itu? Karena teman saya juga di sana. Kenapa menikah dengan si itu? Karena waktu itu terasa cocok. Kenapa setelah jadi dokter, ambil spesialisasi itu? Karena kelihatannya seru. Dan, mengapa saya mengambil keputusan itu dan itu? Karena ingin mencoba. Iseng. Atau sekadar "kayaknya menarik."
Saya terlambat menyadari bahwa alasan-alasan tidak serius itulah yang membawa saya ke titik ini. Tapi justru melalui alasan-alasan yang tampak tidak penting itulah saya menemukan sesuatu: saya jadi lebih rileks dalam menjerumuskan diri ke perkara-perkara besar. Tanpa tekanan. Tanpa ekspektasi muluk. Tanpa ketakutan berlebihan.
Karena anehnya, ketika saya terlalu serius, terlalu tegang, justru saya cenderung gagal. Misalnya, saat pertama kali menyukai lawan jenis. Saya membeku. Sedemikian tegangnya sampai tidak berbuat apa-apa. Tidak mengajak bicara, tidak menyampaikan perasaan. Dan seperti yang bisa ditebak, dia pun diambil orang. Output-nya? Gagal total. Tapi tidak ada yang bisa disesali juga—karena dari situlah saya belajar. Bahwa terlalu serius bisa melumpuhkan.
Jadi, mungkin, dengan menjadi "tidak serius", saya justru memberi ruang bagi keberanian yang bodoh tapi jujur. Dan barangkali itu satu-satunya keberanian yang saya miliki sejak awal.
Posting Komentar