
Sudah berapa lama saya tidak menulis, ya? Kuingat-ingat, hampir dua bulan. Ringkasnya, selama dua bulan terakhir ini status saya berubah jadi single father di Maba. Saya mengasuh seorang anak SD kelas 1 yang, entah bagaimana, tidak pernah rindu sama sekali pada mama, nenek, kakek, atau semua keluarga yang ditinggalkannya di Makassar. Aneh tapi nyata. Heran, kok bisa. Yang jelas, dia sayang sekali sama bapaknya.
Beberapa hal yang jadi sulit ketika jadi single father dibandingkan dengan waktu masih single doang antara lain adalah persoalan chores alias pekerjaan rumah tangga dan persoalan me time alias lari.
Saat masih single, saya bisa mencuci baju dan menyetrika seminggu sekali. Kamarku selalu rapi. Lantaiku bersih. Makanku teratur. Tidak pernah ada piring kotor karena selalu dicuci langsung setelah makan. Hidup simpel, tertata, dan tenang.
Setelah jadi single father, semua berubah. Saya mencuci dua hari sekali. Menyetrika pun demikian. Sedemikian banyaknya cucian, selama dua bulan ini saya sampai kena kutu air hampir di semua sela jari kaki, bergantian. Sedemikian banyaknya setrikaan sampai-sampai tidak bisa lagi menggabungkan hari mencuci dan menyetrika sekaligus. Kamarku pun tidak pernah bisa rapi. Selalu ada prakarya sekali pakai buatan anak SD kelas 1 yang numpuk lalu langsung dibuang. Lantaiku tidak pernah bisa bersih sempurna, karena setiap kali makan pasti ada tumpah belepotan. Piring kotor pun menumpuk, baru sempat dicuci menjelang tidur malam.
Saat masih single, bukan single father, saya punya me time tiap hari kalau tidak ada operasi. Bebas scroll hape. Bebas tidur siang. Bebas mau lari kapan saja. Semua terserah saya.
Saat sudah jadi single father, cerita berbeda. Pagi-pagi mesti siapin bocil sekolah. Setelah itu baru sempat lari di track lari. Itupun sudah agak panas karena mendekati jam 8 pagi, dan hanya sempat kalau tidak ada operasi jam segitu. Mau tidur siang pun agak sulit karena bocil main hape dengan volume yang berisik. Tiap hari saya pusing soal makanan—mau dikasih makan apa, beli di mana, karena saya memang tidak pandai masak. Intinya, kehidupanku yang dulu menyenangkan karena terlalu banyak waktu luang berubah jadi menyenangkan karena sekarang selalu berpacu dengan waktu.
Saya sebetulnya tidak hobi lari. Tapi entah kenapa, sudah berapa pekan ini saya lari tiap hari. Awalnya lari untuk mengatasi insomnia. Tapi sejak ada bocil, malam-malam sudah capek sendiri. Eh, tetap saja saya lari. Seperti candu, meskipun alasannya berubah, ritmenya tetap sama.
Posting Komentar