
Saya sedang di Makassar sekarang. Dan rasanya, kegalauan yang sempat mencuat di episode sebelumnya sudah menemukan jawabannya. Istri saya ternyata tidak akan pulang selama kurang lebih tiga bulan ke depan. Kalaupun pulang, hanya beberapa jam—dan itu pun kalau sempat. Ternyata memang begitulah ritme pendidikannya. Padahal, awalnya saya pikir masa "nggak pulang" ini cuma sebulan. Realita memaksa saya menarik kesimpulan yang jelas dan tegas: saya harus membawa bocah ini ke Maba.
Banyak hal yang saya sadari belakangan ini. Salah satunya: laporan keuangan harian saya menunjukkan bahwa pengeluaran keluarga selalu berkisar 2–7 kali dari target pengeluaran harian yang saya buat. Setelah saya evaluasi lebih dalam, bahkan di masa penghematan maksimal selama enam bulan terakhir, rerata pengeluaran harian saya tetap berada di angka tiga kali dari target yang saya tetapkan. Itu minimal. Artinya? Saya boros. Kami boros.
Dan bukan cuma soal boros. Saya menyadari juga: angka itu bukan angka yang bisa ditekan begitu saja. Kalau dikurangi, akan ada yang kelaparan, akan ada yang emosinya meledak karena merasa tidak cukup. Sulit. Jadi sekarang saya memilih menerima kenyataan ini. Selama masih mampu menutupi semua itu, tidak apa-apa. Asal tahu batas dan bersiap bila suatu hari situasi berubah.
Lalu kesadaran berikutnya datang dari ranah personal: saya ternyata jauh lebih mirip dengan istri saya daripada yang saya kira. Selama ini saya pikir dia adalah kebalikan saya. Kami memang sering berbeda pendapat, berbeda cara berpikir, berbeda pendekatan dalam menyelesaikan masalah. Tapi di luar perbedaan itu, ternyata kami sama. Kami berdua sama-sama keras kepala, sama-sama punya cara aneh dalam mencintai, dan—ini penting—sama-sama sulit dimengerti. Dalam konteks yang romantik dan fungsional, tentu saja. Saya kini menyadari, rasa cinta saya padanya sudah berubah dari yang awalnya, "I love her because she's my wife," menjadi "I love her." Tanpa embel-embel status. Hanya karena memang saya mencintainya.
Dan terakhir, satu hal yang dulu saya kira sudah selesai dari diri saya: hubungan saya dengan aktivitas fisik. Dua puluh tahun lalu saya ikut latihan bela diri intens, dan saya membenci setiap menitnya. Saya pikir saya bukan orang fisikal. Tapi sekarang, saya menyadari bahwa saya menikmati kegiatan fisik. Saya merasa semangat, segar, dan hidup setelah melakukan aktivitas fisik sedang hingga berat. Rasanya seperti candu. Mungkin ini saatnya saya mempertimbangkan untuk berinvestasi ke gym? Saat ini saja, saya rutin menghabiskan 1–3 jam sehari untuk aktivitas fisik, dan saya ingin lebih.
Segala ketidakpastian hari-hari kemarin mulai menemukan titik terangnya. Mungkin ini titik balik. Atau mungkin cuma jeda tenang sebelum badai berikutnya. Tapi saya siap. Saya tidak tahu bagaimana, tapi saya siap.
Posting Komentar