
Beberapa hari ini saya memikirkan ulang keputusan saya untuk membawa anak ke Maba. Besok pagi saya akan terbang ke Makassar, malam ini saya mulai perjalanan dari Maba. Di Makassar nanti, saya berencana membicarakan ini dengan istri dan orang tua saya. Keputusan ini terlalu besar untuk saya buat sendirian, meskipun keinginan itu berasal dari dalam diri saya sendiri.
Beberapa teman saya menentang rencana ini. Alasannya terdengar masuk akal: kualitas pendidikan di desa tentu tidak sebanding dengan di kota. Mereka bilang, saya akan menyusahkan diri sendiri, karena jika sewaktu-waktu ada panggilan mendadak keluar kota, saya tidak bisa bergerak bebas kalau ada anak yang harus saya urus sendirian. Saya dengarkan semua itu dengan kepala dingin. Tapi tetap saja, hati saya punya jawabannya sendiri.
Saya ingin menjadi ayah. Bukan hanya ayah secara administratif. Saya ingin menjadi sosok ayah yang hadir. Selama saya menjalani pendidikan, saya kehilangan momen-momen penting sebagai ayah karena kesibukan yang luar biasa. Ibunya anak saya sekarang sedang menjalani pendidikan juga, dan waktunya lebih terkuras dari saya. Saya merasa inilah momen terbaik bagi saya untuk menebus ketidakhadiran saya selama ini.
Namun, saya tidak bisa menampik satu pertanyaan yang muncul dalam perenungan saya: apakah ini benar-benar demi anak saya? Atau hanya bentuk lain dari ego saya—keinginan untuk "menjadi ayah" versi saya, di waktu saya, dengan cara saya? Ego saya ingin membentuk dia, membesarkan dia, menemani dia tumbuh. Tapi ego ini mungkin tidak selalu selaras dengan yang terbaik bagi anak saya.
Olahraga dan Kejutan Dari Seorang Teman
Berpindah ke hal yang sama sekali tidak terkait—belakangan ini saya rutin jalan pagi. Niat utamanya adalah memperbaiki insomnia dan menurunkan resting heart rate. Sebelumnya, saya bisa lari tanpa henti selama 17 menit. Setelah itu napas saya habis, dan harus lanjut jalan kaki. Tapi sejak bulan lalu, saya mulai ikut jalan pagi bareng salah satu dokter residen penyakit dalam yang sedang stase di Maba. Dia sedang menjalani misi pribadi: menurunkan berat badan. Kami jalan 10 km hampir setiap hari—kadang 5 km pagi dan 5 km sore, kadang absen kalau hujan.
Saya ikut awalnya karena kasihan, dia nggak bisa lari. Tapi lama-lama saya sadar: jalan pagi ini justru lebih pas untuk target kesehatan saya. Dan hasilnya nyata. Resting heart rate saya turun sekitar 5 denyut per menit. Durasi lari non-stop saya meningkat menjadi 75 menit. Saya berutang rasa terima kasih kepada dia karena sudah mengajak saya iseng-iseng awal bulan lalu.
Yang bikin saya lebih terkejut, teman saya ini ternyata punya ambisi besar: ingin jadi Menteri Kesehatan. Dan jalannya menuju ke sana... memang terbuka. Dia beneran punya peluang. Dia bukan sekadar bermimpi, dia bahkan sudah punya fondasinya, meskipun jika tujuan ini diseriuskan tetap akan memakan banyak sumber daya juga. Ironisnya, dia termasuk yang paling keras menolak rencana saya membawa anak ke Maba. Mungkin karena dia melihat dari perspektif yang berbeda. Mungkin juga karena dia punya ambisi besar dan tahu pengorbanan seperti apa yang dibutuhkan untuk mengejar cita-cita itu.
Dan saya? Saya masih bertanya-tanya: apakah saya sedang berkorban untuk anak saya, atau saya sedang menyusun ulang mimpi yang tertunda demi perasaan bersalah atas masa lalu?
Posting Komentar