
Sebenarnya saya sedang merasa tidak nyaman belakangan ini. Perasaan yang tidak bisa saya singkirkan begitu saja. Bukan karena ada masalah besar yang meledak, tapi karena muncul satu demi satu keraguan dalam kepala—halus, tapi menyakitkan.
Pertama, saya merasa tidak kompeten dalam mencari uang. Penghasilan yang saya dapat terlalu murni bergantung pada gelar yang melekat di depan nama. Tidak ada diversifikasi, tidak ada kreativitas keuangan, tidak ada strategi untuk bertumbuh. Saya tidak punya usaha sampingan, tidak punya keberanian ambil risiko, dan tidak tahu bagaimana cara memutar uang. Saya merasa buta di bidang ini.
Kedua, saya sadar saya tidak terampil dalam urusan rumah tangga. Saya tidak jago masak, tidak jago memperbaiki perabot, bahkan nyetir mobil pun saya merasa masih kurang lihai. Hal-hal mendasar seperti ini, yang seharusnya bisa dilakukan oleh kepala keluarga, justru membuat saya kikuk.
Ketiga, saya merasa tidak pandai dalam hubungan interpersonal. Saya tidak tahu bagaimana menjaga hubungan dengan baik, apalagi menjalin relasi sosial dengan dunia di luar lingkaran saya. Saya seringkali tidak peka terhadap isu atau permasalahan di sekitar. Saya tidak tahu harus mulai dari mana untuk jadi orang yang lebih sadar dan lebih terlibat.
Di balik semua ini, ada cerita lama yang membuat saya minder. Saya ini cuma anak dari sepasang guru pegawai negeri sipil. Dulu hidup kami serba terbatas. Saya tidak dibesarkan dengan keterampilan berdagang, atau kemampuan membangun pengaruh, atau strategi untuk menang dalam permainan sosial seperti pemilu. Saya juga terlalu penakut untuk mempelajari hal-hal esensial agar bisa jadi orang kaya. Saya dibesarkan dengan satu arahan: jadi pelajar yang baik, lalu jadi pegawai.
Masalahnya, sampai hari ini, saya belum juga jadi pegawai. Bahkan untuk sekadar mendapatkan kesempatan pun belum. Padahal saya sudah belajar seumur hidup.
Hari ini, saya merasa sedih. Minder. Dan tidak berdaya. Saya tahu saya tidak sendiri di dunia ini yang merasa seperti ini, tapi tetap saja—rasa ini nyata dan menekan.
Jeez... saya merasa seperti sedang membaca isi otak dan hati saya di sini. Saya pun merasakan dan mengalami hal yang sama dan membaca ini membuat saya jadi merasa lebih humanis and how my heart is softened knowing that I'm not alone. Sy pun tdk memiliki pengetahuan dan kecakapan yang sama, bahkan memiliki banyak kisah masa lalu bagaimana saya dengan bodohnya membuang uang yang susah payah saya kumpulkan. While it still stings everytime the memory pays its visit, sy belajar untuk menyadari dan menerima situasi sy yang pada saat itu mgk sdg berada pd survival mode yg sgt berat. Sekarang, pelan-pelan saya belajar to embrace my value and slowly switch from that survival mode to receptive mode, allowing the money to come to me freely. And I wish the same way to you, too... Semangat untuk pengabdiannya, pak dokter... 😊
BalasHapusPosting Komentar