
Hari ini rasanya masih nyambung dari cerita kemarin. Gelisah, tapi kalau direnungkan lagi, gelisahnya pun sulit dijelaskan secara logis. Saya sadar, ini bukan gelisah yang masuk akal, tapi tetap saja membebani kepala.
Teman-teman saya dari daerah, satu per satu sudah kembali ke kota. Mereka sudah jadi PNS. Sementara saya, baru mulai pengabdian di daerah. Baru enam bulan malah. Mereka, hanya butuh enam bulan sampai dua tahun untuk kembali ke pusat keramaian dan melanjutkan karier di kota. Saya? Entah harus berapa tahun di sini. Mungkin empat. Mungkin lima. Dan itu menyesakkan.
Rencana saya sekarang sederhana tapi berat: menemani anak. Mengajari dia hal-hal yang selama ini tidak sempat dia dapatkan dari orangtuanya. Selama lima tahun hidupnya, hampir tidak pernah benar-benar ditemani. Dalam dua pekan ke depan, saya akan menjemputnya dari Makassar ke Maba. Saya sudah mantap: lebih baik dia ikut saya, daripada tetap bersama mamaknya yang sedang berada di fase paling sibuk dalam pendidikan spesialisnya. Tapi ini bikin galau. Apakah dia bisa bersaing dengan anak-anak sepantarannya? Apakah sekolah di desa cukup memberinya bekal?
Usianya belum genap tujuh tahun. Tapi saya enggan membiarkannya bertahan di TK. Saya ingin dia masuk SD atau MI. Namanya sudah saya daftarkan, tapi saya belum masuk ke grup WhatsApp orangtua calon siswa. Saya mulai panik. Bagaimana kalau dia tidak diterima? Titik kepasrahan saya: kalau memang tidak bisa masuk SD, saya akan mengajarinya sendiri. Di rumah. Kemana saya pergi, dia akan ikut. Setahun ke depan adalah masa kami, sebelum mamaknya selesai pendidikan dan kami bisa kembali hidup bersama.
Itu tadi dua sumber kegelisahan utama. Untuk sekarang, mungkin belum ada lagi yang mengusik. Tapi pikiran ini sering tidak bisa ditebak.
Meski begitu, saya sadar ada hal yang harus saya syukuri. Kemarin, salah satu teman semasa S1 datang ke Maba. Kami curhat panjang. Ternyata dia sedang berada di ujung tanduk pernikahan. Hampir cerai. Ceritanya seperti deja vu. Mirip dengan cerita saya beberapa tahun lalu. Tapi tentu saja dengan banyak variabel berbeda. Kami saling tukar kisah.
Bedanya, saya sudah melewati episode itu—dengan akhir yang bisa saya sebut happy ending. Dia masih berjuang. Dan satu hal lagi: dia belum juga masuk program spesialis, sementara umurnya sudah mepet. Kesempatannya hanya satu kali lagi. Sekolah spesialis yang dulu jadi penderitaan saya kini jadi obsesi dia. Dia ingin lanjut, tapi terlalu banyak pertimbangan. Apalagi di tengah masalah rumah tangga yang belum selesai.
Saya sudah selesai. Saya sudah melalui dua fase penderitaan besar dalam hidup saya. Dia bahkan belum mencapai puncak pertama. Tapi, apakah saya lebih baik darinya? Belum tentu. Cobaan hidup itu seperti gelombang. Tidak bisa ditebak kapan datangnya, dan seberapa besar hantamannya. Hari ini saya mungkin bisa duduk dan mendengar ceritanya. Besok, siapa tahu giliran saya yang butuh diceritakan. Karena saya ini, ya hanya pegawai kontrak. Tidak lebih, tidak kurang. Bukan siapa-siapa.
Saya sangat menikmati membaca tulisan seperti ini - being vulnerable. Rasanya lebih resonate sebagai manusia bahwa bukan hanya saya saja yang mengalami kegelisahan dan berbagai pertanyaan dalam hidup. Terima kasih telah menuliskan dan membagikannya di sini.
BalasHapusTerima kasih sudah membaca kegelisahan saya. :)
HapusPosting Komentar