banner curhatan tidak perlu

Hari Buruh, 1 Mei 2025. Kamis. Seharusnya hari ini saya sibuk di ruang operasi, tapi karena tanggal merah, tidak ada tindakan medis apa pun di RS Maba. Kondisi yang tenang ini justru menghasilkan ide yang agak konyol: Juan—residen anestesi yang sedang stase di sini—mengusulkan untuk mencari kafe di Buli. Saya sih oke-oke saja, toh tidak ada agenda penting. Kami berangkat jam 9:30 WIT, pakai mobil dinas saya yang kuning. Juan yang nyetir.

Kebetulan banget, di Makassar, istri dan bocil juga sedang ngide: mereka pergi ke Pulau Panambungan. Saya anggap itu kembaran vibe. Kami di Maba ngacir ke Buli, mereka di Makassar nyebrang pulau. Cuma, saya dan kawan-kawan di losmen ini tidak memberi tahu istri tentang rencana dadakan ke Buli. Menurut saya, ya gak perlu.

Begitu sampai di Buli, semua kafe tutup. Saya gak ngerti, mungkin karena tanggal merah? Saya coba nelpon dr. Denis, teman lama yang punya Klinik Horas di Buli. Kami masuk Halmahera Timur di tahun yang sama. Saat dia membangun klinik, saya masih sekolah spesialis. Sekarang kliniknya jalan terus, sementara saya masih sibuk nunggu gaji cair. Tapi dia teman. Sayangnya, saat saya telepon, dia gak angkat.

Karena gak jelas tujuannya, saya lempar ide: lanjut ke Subaim aja sekalian. Mereka setuju. Subaim itu sekitar sejam lagi dari Buli. Jadi ya, gas.

Setahu saya, daerah yang “ramai” di Halmahera Timur cuma Buli, Maba, dan Subaim. Nah, tepat saat kami meninggalkan Buli, dr. Denis nelpon balik. Dia bilang kafe-kafe memang biasanya baru buka sekitar jam empat sore. Dia juga nawarin mampir ke kliniknya. Tapi karena kami sudah jalan, kami lanjut saja ke Subaim. Sekalian habisin bensin, sekalian cari suasana baru.

Di perjalanan, kami hubungi dr. Kuntya, dokter umum RS Maba yang tinggal di Subaim. Tanyain, ada kafe buka gak di sana. Jawabannya ada. Tapi begitu sampai di Subaim, kami gak tahu kafe yang mana yang dimaksud. Chat-nya ambigu. Jadi, ya udah, kami pilih kafe random yang buka. Nongkrong sambil ngobrol gak jelas hampir sejam. Habis itu pulang ke Maba lewat Buli lagi.

Sampai di Buli, Juan sempat melambatkan mobil. Dia tertarik beli durian. Tapi setelah voting, ternyata cuma dia yang mau. Gagal. Tapi, di tengah slow-motion durian ini, ban mobil depan kiri tiba-tiba gembos. Entah kena apa.

Jujur, saya gak tahu harus gimana. Selama ini, kalau ban motor saya kempes, ya tinggal dorong. Tapi ini mobil. Harus ganti ban serep. Juan dan satu lagi teman kami langsung sigap, kayak sudah latihan dari kecil. Saya lebih banyak berdiri canggung, pegang kunci roda doang. Akhirnya ban diganti, dibawa ke bengkel, ditambal, beli nasi padang, dan ban asli dipasang kembali. Masalah selesai.

Belum. Perjalanan balik ke Maba menyeramkan. Hujan deras, jalan gelap, gak ada lampu jalan, wiper gak sanggup bersihin kaca, dan nyaris diserempet truk berkali-kali. Lengkap sudah.

Menjelang Magrib, sinyal jelek-jelek ayam, istri kirim WA minta uang buat bayar makanan. Gayanya buru-buru, nadanya tajam. Saya lagi di Mabapura, belum masuk Maba. Sinyal tinggal satu bar. Saya bilang, “Tunggu 30 menit.” Eh, dia balas dengan komentar tidak terduga, “Ngapain kamu di Mabapura? Mengunjungi istri baru?”

Ya saya kasih jawaban tak terduga juga, tapi gak usah saya tulis di sini. Intinya: gak penting. Lalu dia marah karena saya tidak memberi tahu kalau saya tadi “cuma” cari kafe. Lah, apa hubungannya?

Sampai losmen, semua tumbang. Saya pun hampir tidur jam 10 malam… sampai Nadia, teman saya yang tugas di Bacan dan Ternate, menelpon. Katanya gak ada dokter anestesi di Ternate. Dia juga gak bisa ke sana karena di Bacan cuma dia seorang yang standby. Jadi dia minta tolong ke saya buat backup. Saat itu juga.

Syalannn.

Dari Maba ke Ternate butuh 7 jam perjalanan darat dan biaya sekitar setengah juta. Tapi karena ini teman, dan saya tahu kalau posisi terbalik saya juga akan minta bantuan serupa, saya berangkat. Jadwal operasi Jumat saya oper ke Juan. Saya pikir, ini one-day trip.

Saya salah. Nadia minta saya backup sampai hari Senin. Hampir aja saya gak bawa baju. Sekarang saya di Ternate. Nginep di rumah Nadia. Masalahnya… dia lupa bilang ke ayahnya bahwa saya bakal nginep di sana.

Awkward moment? Maksimal.

Post a Comment