banner curhatan tidak perlu

Kamis, 10 April 2025. Seharusnya saya sudah di Maba lagi. Tapi kenyataannya, tiket pesawat saya justru Kamis depan. Ya, saya memang sengaja. Mau selama mungkin di sini saja, bersama keluarga.

Bocil sudah mulai sekolah TK lagi kemarin. Dia minta diurus sama Papa. Mau dimandikan Papa. Mau diantar-jemput Papa. Mau tidur dipeluk Papa. Dasar anak manja. Tapi bagaimana bisa saya tolak?

Istri juga sudah mulai aktif lagi di Rumah Sakit setelah akhirnya dikasih libur panjang. Kantong matanya sudah legam lagi. Badannya pegal-pegal lagi. Emosinya kurang stabil lagi. Sepertinya memang sudah waktunya saya kabur dari Makassar lagi, kalau begini. Tapi meskipun berat, rasanya rela. Karena kalau di Maba, kesepiannya lebih mencekik.

Selama di Makassar ini, saya sadar satu hal: mungkin saya terlalu sombong waktu bilang mau urus bocil sendirian di Maba. Rencananya memang sekitar 2-3 bulan lagi dia akan saya bawa. Perkiraan selesai TK. Sampai mamaknya selesai pendidikan dan bisa kumpul kembali. Tapi... mungkin saya tidak mampu. Saya tidak tahu bagaimana ngajarin dia hal-hal penting sesuai usianya. Saya gak tahu cara masak makanan kesukaannya. Saya gak tahu cara ngelepas dia dari ponsel saat dia sudah tersedot ke dalam dunia Youtube. Tapi saya tahu satu hal: saya punya cukup waktu di Maba. Dan saya ingin waktu itu dihabiskan bersamanya.

Lalu saya sadar satu hal lagi. Salah hitung. Soal kewajiban pajak yang ternyata jatuh tempo awal 2026. Saya defisit. Belasan juta rupiah sejak Maret. Artinya, biaya hidup keluarga akan berkurang untuk sisa tahun 2025. Dan saya juga lupa menyisihkan dana hidup untuk awal tahun depan, saat gaji biasanya macet. Padahal ini situasi foreseeable, harusnya saya sudah tahu. Harusnya saya sudah siap.

Dan... satu kesadaran lagi. Astaga, ini berarti hal ketiga yang saya sadari minggu ini. Ternyata pikiran jahat itu bisa muncul ke siapa saja. Sebagai dokter anestesi, saya kadang melontarkan candaan tidak etis—tentang obat bius, tentang penghilang ingatan. Candaan yang secara teknis bisa jadi sangat kelam kalau dilakukan. Tapi saya tahu, saya gak akan pernah benar-benar melakukan hal seperti itu.

Masalahnya, di Bandung baru-baru ini, ada residen anestesi yang benar-benar melakukannya. Kepada penjaga pasien. Yang perempuan. Di bawah umur. Saya geram. Saya jijik. Saya marah. Saya sedih. Saya muak. Dan setiap kali saya ingat candaan saya sendiri, saya ingin menampar diri saya. Candaan seperti itu tidak lucu. Tidak boleh. Tidak lagi. Berita keparat itu bisa dibaca di sini. Tapi hati-hati, isinya bikin naik darah.

Sekarang saya sedang menghitung ulang sisa hari dan sisa dana. Servis laptop tua belum kelar. Belum beli tiket terbang ke Maba. Belum akomodasi singgah di Ternate, belum ketemu dokter-dokter anestesi di sana, belum ongkos jalan Ternate-Maba.

Semoga sisa uang saya masih cukup. Karena kalau tidak... ya, mari kita seduh realita dalam gelas kecil. Tanpa gula. Pahit, tapi bikin sadar.

Post a Comment