
Senin, 17 Maret 2025. Hari ke-101 di Maba. Tapi tidak benar-benar ke-101, karena kalau saya sedang pulang ke Makassar, saya tidak menghitung jumlah harinya. Pekan depan saya mau pulang ke Makassar, balik ke sini lagi bulan depan. Mungkin cukup lama, tapi belum tahu berapa hari. Bukan sesuatu yang perlu diperhatikan, sih.
Beberapa hari ini saya banyak merenung. Merenung tentang hidup.
Andaikan kehidupan setelah mati tidak ada, apa hal paling mahal dan berharga di dunia ini?
Menurut saya, jawabannya sederhana: waktu luang untuk melakukan apa yang diinginkan, pada waktu yang diinginkan, bersama dengan orang-orang yang diinginkan. Sejalan dengan highest dividend money can buy you dalam buku Psychology of Money.
Kalau dipikir lagi, sebenarnya itu cukup mudah didapatkan kalau kita punya rasa cukup, rasa syukur, dan kesadaran bahwa apa yang sudah ada saat ini lebih dari cukup. Dalam hal ini, yang perlu kita miliki adalah waktu luang, kesehatan, dan ketenangan akan kebutuhan hidup.
Yang membuat hidup jadi ribet adalah keinginan.
Misalnya saja, kalau menginginkan punya iPhone 16 Pro Max 1 Terabyte, maka Samsung Galaxy A23 akan terasa tidak memuaskan. Padahal, keinginan-keinginan seperti itu sering kali hanya menawarkan sesuatu yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Tidak menambah kualitas hidup.
Kecuali misalnya, memiliki sesuatu memang membuat hidup lebih mudah—lebih mudah membangun relasi, lebih efisien dalam bekerja, atau hal lain yang masuk akal. Tapi kalau keinginan itu didasari oleh fear of missing out atau hanya ingin dipandang kaya, sesungguhnya itu justru mengurangi kualitas hidup. Rasa insecure bertambah, dan kualitas waktu luang malah berkurang.
Itu adalah the lowest dividend money can buy you.
Antara Ambisi dan Kehidupan
Namun, dasar dari perenungan saya ini bukan sekadar soal kebendaan. Saya merenung lama karena ingin sekolah lebih tinggi lagi.
Padahal, sebenarnya bukan waktunya saya memikirkan itu.
Seharusnya saya lebih memikirkan bagaimana mendapatkan pekerjaan tetap, bagaimana membesarkan anak, atau bagaimana menabung untuk memiliki aset rumah dan kendaraan pribadi. Keinginan saya banyak, dan rasa iri saya ketika melihat orang lain sukses itu tinggi.
Tapi saya tidak punya seluruh waktu di dunia ini.
Saya mungkin bisa mencapai semua itu, tapi harga apa yang harus saya bayar?
Yang mungkin akan berkorban jika saya meloloskan ambisi ini adalah karakter dan masa depan anak, serta ketenangan hidup pribadi. Ini justru akan menurunkan kualitas waktu luang, bukan?
Banyak anak-anak yang tidak dibesarkan dengan baik karena kedua orangtuanya terlalu sibuk mengejar ambisi pribadi mereka masing-masing.
Pada titik ini, saya tidak tahu apa yang sebaiknya saya prioritaskan.
Kemampuan Paling Penting dalam Hidup
Lalu saya merenung lebih jauh lagi.
Kali ini tentang apa kemampuan paling penting dan berharga untuk mencapai sesuatu dalam hidup?
Apa yang sebaiknya ditanamkan pada anak agar ia bisa mencapai cita-citanya?
Selain dukungan dari orang tua, apa yang perlu ada dalam diri seorang anak agar ia bisa menjadi orang yang sukses di kemudian hari?
Saya pikir jawabannya sederhana: kemampuan untuk menahan keinginan impulsif dan rasa bosan.
Terkadang, keinginan impulsif dan rasa bosan ini yang membuat seseorang melakukan hal yang tidak seharusnya. Kalau ini tidak berlaku untuk semua orang, setidaknya ini berlaku untuk saya.
Ini yang sering disebut sebagai kemampuan menolak instant gratification demi delayed gratification. Secara alami, instant gratification lebih menggoda—lebih cepat didapat, lebih menyenangkan. Delayed gratification, di sisi lain, biasanya lebih bernilai untuk membuat hidup lebih mudah ke depannya.
Pelajaran yang Berharga, Tapi Tidak Mudah
Wow! Kalau diingat lagi, saya pernah diajarkan seperti ini.
Tapi ujung-ujungnya, saya depresi.
Banyak masa-masa seperti itu, terutama saat menjalani pendidikan dokter spesialis—di tahun awal dan tahun akhir. Saya seperti berjalan telanjang kaki di dalam terowongan yang gelap dan penuh kerikil, tanpa melihat ujung terowongan ada di mana.
Saya hanya percaya bahwa penderitaan ini akan berakhir.
Sampai kapan? Apakah saya akan mati sebelum mencapai ujung terowongan ini?
Kurang lebih begitulah rasanya.
Setelah penderitaan sekian tahun lamanya, saya akhirnya selesai. Lega. Penderitaan saya terbayar.
Tapi ini berat. Tidak semua orang sanggup melalui ini. Banyak yang memilih keluar karena tidak sanggup.
Saya beruntung karena diajarkan untuk menahan gejolak demi mencapai tujuan oleh orang tua saya.
Namun, pertanyaannya sekarang: apakah saya bisa menanamkan hal ini ke anak saya?
Dan yang lebih besar lagi:
Mana yang lebih prioritas—membentuk karakter anak atau mengejar ambisi pribadi?
Perenungan yang benar-benar kompleks.
Posting Komentar