Selasa, 28 Januari 2025. Dini hari tadi, sebuah email masuk dari editor Acta Biomedica. Katanya, manuskrip saya diterima oleh editor dan sedang diteruskan ke proses peer review. Harusnya ini kabar yang menyenangkan, kan? Saya ingin langsung mengabari pembimbing utama saya. Tapi, saya sadar diri. Ini sudah tengah malam. Tidak sopan. Besok saja. Lagipula, meskipun saya sudah beberapa bulan lulus dari status dokter residen, saya masih punya satu hutang publikasi. Ya, saya sebut hutang karena saya merasa ini bentuk penghargaan kepada guru saya yang sudah membimbing sampai saya lulus.

Gambar ilustrasi untuk mendukung cerita ini buatan ChatGPT.

Sebenarnya, kalau saya tidak publikasikan pun, tidak masalah. Tidak ada yang bisa menuntut atau menghalangi saya. Gelar saya juga tidak akan dicabut. Tapi, saya tetap melakukannya. Publikasi sebelumnya juga sudah ada Letter of Acceptance (LoA), tapi entah kapan terbitnya. Teman saya bahkan ada yang menunggu satu tahun dari LoA hingga terbit. Ada juga yang enam bulan. Saya? Tidak terlalu peduli. Kalau publikasi yang baru diterima ini mau terbit kapan, ya sudah. Tidak ada beban.

Setelah membaca email, saya tidur. Tapi ya, begitulah. Masih sempat melirik hape pukul 3 pagi. Bangun-bangun jam 9. Dibangunkan bukan oleh alarm, tapi oleh ribut-ribut video call dari istri yang kemarin chat-nya saya archive. Gak kuangkat. Yang kulakukan malah ngechat pembimbing utama untuk mengabari kabar baik soal email tadi. Habis itu, saya coba tidur lagi. Tapi ya, sulit. Ada rasa penasaran, "Apa isi telepon tadi?"

Akhirnya saya buka pesan dari istri. Yap, isinya adalah maki-makian. Bahkan ada voice note dari bocil yang nanya, "Apakah Papa gak angkat telepon karena takut dimintai uang?" Duh, ini pasti mamaknya yang ngajarin. Kujawab saja kalau Papa lagi kesal sama Mama, jadi gak mau video call dulu. Ternyata, ujung-ujungnya adalah soal uang. Hahaha! Uang untuk gaji ART. Padahal, semalam sudah kukirim bersamaan dengan uang mingguan. Saya hanya tidak bilang karena masih kesal. Lalu berita lainnya: ART mau cuti beberapa hari.

Normalnya ini bukan masalah besar karena mamaknya bocah sedang tidak dinas. Tapi hari ini dia jaga sore, dari jam 14 sampai 21. Dan tidak ada ART. Jadi, dia minta tolong supaya bocah dijemput ke rumah eyangnya, lalu dikembalikan jam 21. Tanggung amat. Kenapa tidak sekalian nginap saja?

Kuhubungi adik bungsuku. Gak diangkat. Kuhubungi ibuku (eyangnya bocah). Sama saja, gak diangkat juga. Mereka ini pasti masih tidur. Meski sudah jam 10 pagi, kalau mereka tidak angkat telepon atau balas chat, artinya mereka lagi tidur. Kebiasaan tidur pagi ini memang sudah mengalir dalam darah keluarga kami. Bahkan bocil pun, kalau tidak dalam pengawasan mamaknya, bakalan tiap hari tidur pagi.

Barulah sekitar jam 12 lewat, rumah di sana mulai hidup. Adik bungsuku bilang mau mandi dan makan dulu sebelum jemput bocil. Dan coba tebak, bocil ke rumah eyangnya bawa apa? Timbangan! Katanya, kalau makan nasi harus ditimbang minimal 120 gram. Kurang aneh apa coba ini? Jadwal makan juga dipatok ketat: makan siang jam 13, cemilan jam 16, makan malam jam 19. Saya cuma kasih tahu jadwal ini ke adik bungsu, meskipun saya tahu mereka pasti tidak nyaman dengan aturan yang terlalu ketat ini. Ya sudahlah.

Hari ini, perasaanku tidak nyaman. Entah kenapa. Padahal tadi saya keluar makan nasi rendang. Tapi bukan di warung Padang. Warung Padang di desa ini sudah sebulan tidak buka. Saya makan di warung mas-mas Jawa. Tentu saja rasa rendangnya berbeda, tapi setelah beberapa hari tidak makan proper, rasanya nikmat sekali. Saya bahkan beli tusuk gigi plastik demi kenyamanan makan rendang. Gigi saya ada yang tidak rata, jadi daging sering nyangkut di celah gigi. Tusuk gigi kayu tidak efektif. Tapi meskipun rendang sudah dimakan, rasa tidak nyaman itu tetap ada.

Saya mencoba meditasi, berharap bisa merasa lebih baik. Biasanya, saya bisa bertahan lima belas menit dengan tenang. Tapi hari ini, lima menit pertama saja saya sudah kewalahan. Pikiran terus berlari. Mungkin karena saya masih marah. Entahlah.

Post a Comment