Saya rencananya akan berhenti menulis mengenai topik seputar anestesi di blog ini. Namanya tidak cocok. Lagipula, pada judul blog ini tertulis daily, idealnya update harian, setidaknya tiap dua atau tiga harian. Mana sanggup! Kecuali, misalnya setiap beberapa hari saya tiba-tiba sanggup membuat artikel tentang anestesi. Tapi kalau demikian berarti saya bisa saja lebih produktif dalam hal kepenulisan dibandingkan dengan semua orang di sekitarku. Padahal tidak perlu seproduktif itu pun, orang-orang sudah pada lulus. Beda jauh dengan yang sedang menulis ini. 


Suatu hari yang kelam, saat bimbingan tesis, saya akhirnya mendapatkan sebuah titik terang seperti cahaya menyilaukan bahwa saya bisa lulus juga seperti teman-teman, yang meskipun hidupnya hepi-hepi saja, progres tugasnya juga melesat kencang. Mungkin takdir pilih kasih. Karena perbedaan perlakuan takdir terhadap kami, mereka sudah ada yang wisuda, ada yang hampir wisuda, dan ada juga... yang baru dapat titik terang mengenai apa yang ingin diteliti dari penelitiannya ini.


Awalnya, sudah sumringah ekspresi wajah ini dibuat oleh pembimbing keren yang perfeksionis, yang kebetulan terpaksa harus membimbing dalam penyelesaian proposal penelitian yang akan dilaksanakan. Pasalnya, penelitian yang saya ajukan tampaknya bisa berjalan biaya yang tidak terlalu mahal. Semuanya berubah ketika beliau menambahkan dua kata pada judul. Dua kata itu adalah "kadar kortisol" yang berarti saya harus meneliti di lab, selain membius pasien di meja operasi sebelum pembedahan dimulai. Yang juga artinya reagen pemeriksaan human cortisol, yang harganya jutaan, harus dibeli secara pribadi. Pemeriksaan kadar kortisol tidak ditanggung rumah sakit, karena tidak penting-penting amat. Dalam penelitian yang saya ajukan pun, tidak penting. Tapi mahal. 


Seberapa mahal? 

Saya membuka beberapa dokumen yang belum lama ini melakukan penelitian dengan menggunakan reagen kortisol dan menemukan dalam rincian biayanya bahwa perlu merogoh dompet sejumlah 5-7 juta rupiah untuk membeli 1 kit reagen yang dapat digunakan untuk 88 sampel pemeriksaan. 


Jadilah, saya memperkirakan sejumlah dana yang saya butuhkan untuk penelitian saya. Dana-dana itu tentu saja disiapkan dengan berhutang. Pada. Orang. Tua. Dan. Teman. Teman. Menjadi dokter residen semester akhir yang tidak kunjung lulus memang membuat hidup menderita. Lebih dari tiga dekade hidup, masih dibiayai orang tua. Bukan hanya dalam hal pendidikan saja, tetapi juga keperluan hidup sehari-hari. 


Alangkah terkejutnya saya, sewaktu membuka katalog reagen pemeriksaan kortisol. Harganya tertulis 10 juta untuk satu kit. Harganya naik 50% dibandingkan dengan semester lalu. Ataukah, distributor mengganti produk reagennya dengan yang lebih mahal. Uang dari mana untuk membeli ini? Mengetahui semua ini, sungguh rasanya ingin berhenti. Resign. Tapi tidak bisa.



Alasan kenapa saya tidak bisa berhenti dari semua ini adalah karena sudah berkorban banyak. Tidak wajar bila berhenti begitu saja ketika tujuan sudah berada di depan mata.



Dulu, tujuan saya terlihat ada di depan mata, seperti gambar pertama. Sekarang, saya melihat tujuan saya seperti pada gambar kedua. Padahal, jarak ke tujuan sebenarnya semakin dekat. Hanya saja, rasanya semakin berat karena seiring waktu sumber daya semakin habis. 


Yang paling jelas dari semua ini, kalau mundur sekarang, saya bukan hanya rugi waktu dan biaya, juga tidak akan dapat apa-apa. Dan cukup yakin ini bukan tergolong sunk cost fallacy, yang menghindari kerugian tapi malah semakin rugi. Ini kalau mundur malah jauh lebih rugi. 


Masih sangat mungkin ini semua diselesaikan dengan baik-baik. Kalau ini semua dipaksakan sampai selesai, saya masih bisa keluar dari semua proses ini dengan predikat sebagai dokter spesialis. Tidak peduli apakah disertai dengan hutang ratusan juta.

Post a Comment